Kamis, 09 Desember 2010

Talangan Haji + Bimbingan Haji Sejak Dini

“Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik laa Syariikalaka Labbaik, Innal Hamda Wani’mata Laka Wal Mulk Laa Syariikalak”

Aku datang memenuhi panggilanMU, Aku datang memenuhi perintahMU, Ya Allah. Sesungguhnya segala puji dan nikmat itu adalah milikMU, tidak ada sekutu bagiMU.

Hanya dengan Rp 5,45 juta Bpk/Ibu dapat memperoleh PORSI HAJI dan BIMBINGAN MANASIK Haji sejak dini

Apabila Bpk/Ibu ingin melaksanakan Ibadah Haji, namun biaya belum mencukupi untuk memperoleh porsi haji senilai Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) ditambah buka rekening tabungan haji senilai Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Kami segenap Pengurus & Pembimbing Haji BMT EMAS bekerjasama dengan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk menyediakan fasilitas talangan Haji.

Hanya dengan dana Rp 5.450.000,- Bpk/Ibu dapat memperoleh:

1. Talangan Dana hingga Rp 25juta untuk memperoleh PORSI HAJI.

- Dana talangan dapat diangsur melalui BMT EMAS.

- Dana talangan dapat diperpanjang melalui BMT EMAS hingga menjelang keberangkatan.

2. Memperoleh Bimbingan Manasik Haji sejak dini bersama Para Pembimbing Haji BMT EMAS.

- Dibimbing oleh para ustadz dan para pakar dari berbagai bidang untuk mendekatkan pencapaian Haji Mabrur. InsyaAllah.

Dana Rp 5.450.000,- dipakai untuk :

1. Simpanan Haji Mengendap di BMI dan BMT EMAS (dapat diambil saat menjelang pemberangkatan untuk pelunasan ONH atau yang lainnya).

2. Untuk membayar biaya Ujroh Dana Talangan dan Pembimbing.

Adapun tahapan pendaftaran melalui Bank Muamalat Indonesia sebagai berikut:

· Langkah awal:

Dokumen yang harus dipersiapkan :

1) Surat kesehatan dari puskesmas setempat di foto copy 4 lembar

2) Foto copy KTP suami dan istri/janda/duda/cerai/single

- Buku tabungan Haji difoto copy 2 lembar

- Foto copy KTP Non Talangan 13 lembar

- Foto copy KTP Talangan 17 lembar

3) Foto copy Surat Nikah 4 lembar

4) Foto copy Kartu Keluarga 4 lembar

· Ada 5 langkah yang harus Bpk/Ibu jalani dalam proses pendaftaran Haji:

1) Tes kesehatan ke Puskesmas setempat dan tes golongan darah

2) Ke BMT EMAS & Bank Muamalat Indonesia bagi Anda yang memanfaatkan produk talangan Haji untuk buka rekening dan tabungan Haji (diantar Pengurus & Pembimbing Haji BMT EMAS)

3) Setelah dapat Buku Tabungan dari Bank Muamalat Indonesia Anda datang ke Kantor Kementrian Agama Kabupaten untuk foto Haji, sidik jari, mendapatkan Registrasi nomor pendaftaran SPPH (Surat Permohonan Pergi Haji). Diantar Pengurus & Pembimbing Haji BMT EMAS.

4) Anda membawa semua persyaratan dan SPPH ke BMT EMAS/BMI untuk Input Porsi Haji melalui Siskohat (Sistem Komputer Haji Terpadu On Line) bisa dititipkan pada Pengurus & Pembimbing Haji BMT EMAS.

5) Anda menyerahkan dokumen lengkap dan porsi Haji ke Kantor Kementerian Agama. Bisa dititipkan pada Pengurus & Pembimbing Haji BMT EMAS.

Berikut para Pengurus & Pembimbing Haji BMT EMAS:

1. KH. Drs. Rasimun – 0813 2729 5935

2. Ust. Ali Abdul Aziz – 0852 9102 5417

3. Ust. Hamim Thohari, Birk.Hons – 0813 2700 5261

4. KH. Ilyas Muhammad Aziz – 0821 3847 3357

5. H. Rofik Hananto – 0813 9166 2029

6. H. Kun Abidin, S.Si – 0813 2703 1345

7. H. Drs. Muntaqo Nurhadi – 0813 2733 7800

8. H. dr. Ujang Yanyan Mulyana – 0281 659 7775

Pembimbing Khusus Haji BMT EMAS:

1. KH. Drs. Sunaryo, M.Pd (Kepala Kemenag Kab. Purbalingga)

2. H. Agung Yulianto, SE.Ak.MKom (Jakarta) – 0838 8324657

3. H. Basit Sugiyanto, SE.Ak (Yogyakarta) – 0812 2775762

Untuk keperluan Presentasi Program & Informasi lengkap dapat menghubungi:


· Harwati – 0818 04715423

· Harmiati – 0812 28404791

· Endang – 087737182957

· Nurhilal - 085310584858

· H. Rofik - 0813 91662029

· Hj. Fidhoh - 0813 27277770


Atau menghubungi petugas berikut:

Pastikan Anda berangkat Haji, semoga Haji Anda diterima oleh Allah SWT, dosanya diampuni dan harta serta biaya yang dikeluarkan untuk Ibadah Haji akan diganti oleh Allah SWT yang halal dan barokah. Pulang memperoleh predikat Haji yang Mabrur dan Mabruroh. Amin Ya Rabbal Alamiiin.

Tabel Dana Talangan dan Ujroh

Simpanan Qurban BMT EMAS

Purbalingga, 28 Oktober 2010

No. 008/EMAS/SQ/X/2010


Kepada Yth.

Bpk/Ibu ……………………………………………………………

Di tempat


Assalaamu’alaikum wr.wb.

Alhamdulillah, segala puja puji hanya bagi Allah SWT atas karunia kasih sayang dan keberkahan. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah pada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sahabat dan umatnya yang istiqomah hingga akhir zaman. Amin.

BMT EMAS Purbalingga, sebagai salah satu Lembaga Keuangan Mikro Syariah, kembali menggulirkan program baru yang sangat spesial untuk Bapak/Ibu berupa:

SQ (Simpanan Qurban) BMT EMAS dihadirkan khusus untuk Bapak/Ibu sebagai solusi untuk memastikan Bapak/Ibu meraih keAGUNGan dan keMULIAan Qurban pada 1432 H. Program ini membuat ibadah berQurban Anda InsyaAllah jadi lebih mudah.

Cukup sisihkan Rp 25.000,- setiap minggu selama 55 Minggu, Anda ber-Qurban SAPI bersama 7 saudara yang lain atau Cukup Sisihkan Rp 20.000,- selama 45 Minggu Anda ber-Qurban Kambing sendiri. Ringan dan Mudah!

InsyaAllah bersama BMT EMAS uang kecil/sedikit menjadi Agung dan Mulia karena Qurban Anda sebagai bukti nyata hamba ber-Taqwa. Atas perhatian dan kepesertaan Bpk/Ibu kami ucapkan terima kasih, jazaakumullah khairan jazaa.

Wassalaamu’alaikum wr.wb.

Hormat kami,


H. Rofik Hananto

Senin, 02 Agustus 2010

Prospek Cerah BMT

Prospek Cerah BMT Indonesia

Masa depan lembaga keuangan mikro syariah khas Indonesia seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT), kian bersinar saja. Lembaga-lembaga tersebut bahkan mampu menarik perhatian lembaga keuangan internasional.

Menurut CEO Permodalan BMT Ventura, Saat Suharto, pertumbuhan mendatang dinilai positif karena melihat dari semakin besarnya apresiasi masyarakat, pemerintah, dan lembaga-lembaga internasional seperti Islamic Development Bank (IDB), Lembaga Penelitian Australia dan Indonesia, dan lembaga lainnya terkait keberadaan BMT di Indonesia.

Masalahnya terletak pada konsistensi pemerintah melalui regulasi yang memihak pada keberadaan BMT serta pegiat BMT sendiri yang konsisten dalam pelayanan pembiayaan di sektor mikro,kata Saat. Misalnya saja melalui pembuatan undang-undang lembaga keuangan mikro sebagai payung hukum.

Dalam upaya tersebut, lanjut Saat, BMT Center menjalin kerja sama dengan seluruh stakeholder syariah lainnya untuk saling mendukung dan menyebarluaskan gagasan-gagasan keuangan mikro BMT. Dalam meneguhkan gerakan BMT sebagai gerakan keuangan mikro syariah yang khas Indonesia, tambahnya, pada 2010 pun digagas sebuah acara internasional antarpelaku keuangan mikro.

Direktur Eksekutif Pusat Inkubasi dan Bisnis Kecil (Pinbuk), Aslichan Burhan mengatakan untuk terus meningkatkan layanan kepada masyarakat, BMT harus mempersiapkan layanan teknologi informasi cepat, sehingga dapat bersaing dengan bank. Pasalnya, di sisi lain BMT juga memiliki keunggulan dapat lebih memberdayakan masyarakat karena memiliki kedekatan dengan komunitas setempat. Untuk margin bagi hasil juga bisa bersaing karena BMT adalah bisnis harian maka turn over nya juga cepat,kata Aslichan.

Untuk membantu sektor mikro Indonesia, ia pun mengharapkan setidaknya BMT dapat berdiri di setiap kecamatan di Indonesia. Di tahun ini Pinbuk terus meningkatkan kerja sama dengan pemerintah pusat mau pun daerah, serta lembaga keuangan syariah lainnya. Setidaknya terdapat 3000 BMT di seluruh Indonesia.

Beberapa waktu lalu utusan IDB pun datang ke Indonesia untuk mempelajari tentang BMT. BMT yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh minimal 20 persen membuat Indonesia dipilih sebagai pilot project untuk pengembangan BMT di negara lainnya.

sumber : www.republika.co.id

Kinerja Inkopsyah Melejit

Kinerja Inkopsyah BMT Melejit Seperti Meteor

E-mail Print PDF

Surabaya (13/3) Semenjak didirikan tahun 1998 Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) BMT pertumbuhannya terus melejit bak meteor, hal ini terungkap dalam laporan kinerja 2009 Rapat Anggota Tahunan (RAT) Inkopsyah BMT yang berlangsung di Hotel Utami Surabaya – Jawa Timur, Jumat (12/3), yang menyebutkan untuk aset inkopsyah mengalami perubahan Rp 22.342 miliyar ditahun 2008 menjadi 43. 339 miliyar ditahun 2009. Sementara jumlah non performing loan (NPL) hanya mencapai 2%. Dengan demikian untuk tahun 2009 ada kenaikan Sisa Hasil Usaha (SHU) dari Rp 455 juta menjadi Rp 985 juta.

“Selain itu sepanjang tahun tersebut rasio rentabilitas atas modal sendiri adalah 16,78 persen dibandingkan tahun 2008 hanya mencapai 9,97 persen,”kata Arisson Hendry selaku Direktur Inkopsyah BMT, ketika berbicara dengan wartawan di Surabaya.

Lebih lanjut, dia juga memaparkan untuk pendanaan (funding), Inkopsyah telah menawarkan produk khusus pada para anggota agar mau menambah simpanan pokoknya. Produk yang ditawarkan adalah Simpanan Pokok Khusus (SPK) dimana produk tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya gearing ratio inkopsyah BMT dimata kreditur. Pada tahun 2009 terjadi penambahan SPK sebesar Rp 880 juta atau naik sebesar 46,5% menjadi Rp 2.742 juta dari tahun sebelumnya sebesar Rp 1.887 juta.

Sementara untuk dana pinjaman berdasarkan rencana di tahun 2009, Arisson mengatakan, telah mampu melampui target yang diperkirakan, dimana dana segar yang harus diperoleh Inkopsyah BMT minimal sebesar Rp 19,5 milyar teryata sudah terlampau target sebesar Rp 23,2 milyar.

“Pencapaian target tersebut disebabkan karena begitu besar perhatian dan intensitas pengurus dan pengelola dalam memonitor penggalangan dana melalui lembaga-lembaga pemerintah, yang notabene sumber dana tersebut cost of fund-nya cukup rendah dibandingkan dengan dana non pemerintah,”kata Arrison.

Sumber dana eksternal pertama di tahun 2009 yang diterima oleh Inkopsyah BMT dalam RAT disebutkan, dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) sebesar Rp 10 miliyar, Bank Syariah Mandiri (BSM) sebesar Rp 9 miliyar, Bank DKI Syariah Rp 3,6 miliyar dan dari Kementerian Koperasi melalui produk SUK sebesar Rp 550 juta. Dari dana pinjaman tersebut selama tahun 2009 telah tersalurkan di 108 BMT.

Dengan pemaparan tersebut Arisson berharap untuk kinerja 2010 asset Inkopsyah bisa meningkat terus dan terjadi kenaikan aset sebesar Rp 70 miliar. Kedepan ia berharap agar Inkopsyah BMT bisa menjadikan Apex syariah yang berperan sebagai integrasi dari lembaga keuangan mikro syariah.

”Kami menargetkan untuk 2010 anggota Inkopsyah terus bertambah menjadi 500 anggota di 33 provinsi diseluruh Indonesia. Selama ini anggota kami baru 225 itu harapan dari kami,” ujarnya. (Agus Y www.pkesinteraktif.com)

Inkopsyah Salurkan Dana ke BMT

Republika Newsroom - JAKARTA -- Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) menargetkan menyalurkan dana ke 150 BMT di semester kedua 2009. Di semester I lalu Inkopsyah telah menyalurkan dana sebesar Rp 16,1 miliar bagi 70 BMT. Direktur Inkopsyah, Arisson Hendry mengatakan untuk penyaluran dana di semester dua, pihaknya telah mengajukan kerja sama dengan sejumlah bank syariah, yaitu unit usaha syariah (UUS) Bank DKI, UUS BTN dan Bank Muamalat.
Dari masing-masing bank tersebut Inkopsyah mengajukan Rp 5 miliar. "Selain kerja sama dengan bank syariah kami juga mengajukan tambahan dana lagi ke LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir) sebesar Rp 15 miliar," kata Arisson kepada Republika, Kamis (16/7).

Sebelumnya di semester pertama Inkopsyah telah memperoleh dana LPDB Rp 10 miliar. Arisson pun mengharapkan dana fresh tersebut dapat terealisasi di Agustus. Jika seluruh pengajuan tersebut terealisasi maka target pembiayaan Inkopsyah sebesar Rp 30 miliar dapat tercapai.

Untuk penyaluran dana di semester dua Inkopsyah telah menyiapkan BMT yang berada di tujuh provinsi, di antaranya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sulawesi Selatan. Arisson menambahkan sebagian besar penyaluran akan dialokasikan bagi BMT di pulau Jawa.

Pasalnya selain jumlah BMT di wilayah itu mencapai ratusan, BMT-BMT di sana juga memiliki tingkat kesehatan dan kredibilitas cukup baik. Sebelumnya Inkopsyah telah menyalurkan dana LPDB sebesar Rp 10 miliar kepada BMT di 12 provinsi, yaitu Papua (Rp 650 juta), Makasar (Rp 1,2 miliar), Jawa Timur (Rp 2 miliar), Jawa Tengah (Rp 1,8 miliar), Yogyakarta (Rp 750 juta), Jawa Barat (Rp 1,4 miliar), DKI (Rp 450 juta), Lampung (Rp 600 juta), Riau (Rp 500 juta), Medan (Rp 300 juta), Jambi (Rp 100 juta), Palembang (Rp 250 juta).

Selain dari LPDB di semester pertama Inkopsyah juga memperoleh dana dari Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 5 miliar dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM Rp 550 juta. Ada pula tambahan dari ekuitas sebesar Rp 2,6 miliar. gie/kpo

Interkoneksi BMT

Interkoneksi BMT Perluas Jaringan Pemasaran

Senin, 12 Juli 2010, 15:28 WIB
Smaller Reset Larger
Interkoneksi BMT Perluas Jaringan Pemasaran
Suasana layanan di BMT, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Interkoneksi antar BMT dan jalinan host to host BMT dengan perbankan syariah dapat membuat industri keuangan syariah semakin kuat. Pengamat ekonomi syariah, Mustafa Edwin Nasution, mengatakan kerja sama tersebut akan memperluas jaringan pemasaran baik bagi bank syariah maupun BMT.

''BMT merupakan ujung tombak keuangan Islam karena bisa menjangkau nasabah dengan lebih luas, termasuk yang nonbankable seperti usaha mikro. Karena itu interkoneksi dan kerja sama dengan bank akan dapat memberikan kemudahan bagi nasabah,'' kata Mustafa, Senin (12/7).

Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ini menyatakan, saat ini pertumbuhan BMT belum terlalu tampak seperti lembaga keuangan syariah lainnya. Namun dengan menjalin kerja sama satu sama lain, maka akan dapat memperluas pemasaran produk keuangan syariah dan memperbesar pasar industri keuangan syariah.

Di lain pihak, lanjut Mustafa, diperlukan pula dukungan pemerintah dalam mengembangkan BMT di Tanah Air, misalnya dengan mamfasilitasi dana untuk disalurkan ke sektor nonbankable. Selain itu, undang-undang lembaga keuangan mikro juga setidaknya dapat segera dibuat, sehingga memiliki landasan peraturan yang kuat.

Sekilas Asuransi dalam BMT

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 5

BMT Syariah - Akhirnya sampai juga ke bagian ujung dari tulisan Asuransi ini. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang bisa memperjelas tentan asuransi.

Pertanyaan Yang masih Ada

Kendati sekilas tampaknya semua mekanisme takaful Islam telah berjalan sesuai syari'ah, tapi tak urung mengundang sejumlah pertanyaan. Pada pokoknya pertanyaan tersebut berpangkal pada dua perkara yakni: Pertama, tentang terpenuhi tidaknya syarat bagi sahnya aqad jaminan serta terpenuhi tidaknya syarat dalam aqad jaminan yang disahkan syara'; dan Kedua, seputar kedudukan perusahaan takaful itu sendiri: apakah ia berperan sebagai perusahaan penjamin, ataukah sebagai perusahaan pengelola dana nasabah (mudharib), atau hanya sekedar sebagai pialang (broker) yang mempertemukan nasabah sebagai pemilik dana dengan pengusaha.

Menurut fiqh Islam, sebagaimana disebut oleh Syekh Taqiyyudin al-Nabhani di atas, terdapat lima rukun dhaman, yakni adanya pihak yang menjamin dhamin), yang dijamin madhmun 'anhu) dan yang meneriman jaminan (madhmun lahu), dan adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, yakni sebagaimana disebut oleh hadits di atas, berupa hak harta yang wajib dibayar atau akan jatuh tempo pemenuhannya, serta adanya ikrar atau ijab qabul. Nah, sudahkan kelima rukun ini lengkap ada dalam asuransi takaful?

Pada sisi lain ada kesamaran dalam mekanisme asuransi takaful. Bila dikaji lebih jauh, di dalam mekanisme kerja asuransi takaful agaknya berlangsung dua aqad sekaligus, yakni aqad saling menanggung diantara para nasabah (aqad takafuli) dan aqad syarikat antara nasabah dan perusahaan takaful yang dibuktikan dengan adanya bagi hasil uang nasabah yang disimpan perusahaan asuransi takaful. Dalam hal aqad saling menanggung, siapakah yang menjadi penanggung dan yang ditanggung? Bila aqad dalam Takaful adalah aqad takafuli antar peserta, pernahkan aqad itu berlangsung sebagaimana mestinya diantara mereka sendiri? Bila diantara nasabah sudah bisa saling menanggung, lalu apa fungsi perusahaan asuransi Takaful? Maksudnya, dalam hal ini kedudukan perusahaan Takaful sebagai apa? Apakah sebagai pihak pengelola dana nasabah? Bila sebagai pengelola dana nasabah, mengapa disebut perusahaan Takaful, mengapa bukan perusahaan biasa sebagaimana yang lain?

Tapi, benarkah perusahaan asuransi Takaful bertindak sebagai pengelola dana nasabah? Ternyata tidak, karena dana yang dikumpulkan tidak dikelola sendiri (menurut UU yang berlaku Takaful termasuk lembaga keuangan non bank yang hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan apalagi memutarnya sendiri) melainkan disalurkan ke BMI. Itupun oleh BMI, karena juga tidak boleh berusaha (lembaga keuangan bank menurut UU hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana, tapi tidak boleh berusaha), disalurkan lagi kepada pengusaha. Karena bukan sebagai lembaga pengelola, maka semestinya perusahaan Takaful hanya berfungsi sebagai pialang (perantara) antara nasabah dan pengusaha (yang dalam faktanya itupun tidak pernah ada), ataupun wakil nasabah dalam berhadapan dengan pengusaha. Sebagai perantara, Takaful berhak mendapat komisi. Sedang sebagai wakil, Takaful bisa mendapat imbalan (ujrah atau 'iwad). Tapi dalam kenyataannya, mengapa perusahaan memungut bagi hasil, dan karenanya juga menanggung kerugian?

Penutup

Beberapa pertanyaan di atas tidak lain demi kesempurnaan mu'amalah secara Islamy. Sebab, penyimpangan atau ketidaksesuaian setiap bentuk mu'amalah dari ajaran Islam hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kehalalan harta yang diperoleh.

Alternatif penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Akad saling menanggung bisa dilakukan diantara para peserta. Jadi sejumlah para nasabah membentuk kesepakatan bersama untuk saling menanggung dengan cara mengumpulkan sejumlah uang. Bisa pula disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai modal usaha yang diputar oleh sebuah perusahaan, dimana sebagian atau seluruh keuntungan itulah yang digunakan sebagai dana tanggungan. Bila berlebih, bisa disepakati lebih jauh untuk menanggung orang lain yang bukan anggota takaful. "Perusahaan Takaful" (bisa dicari nama lain yang lebih netral) dalam hal ini bisa berperan sebagai wakil kedua belah pihak (pengusaha dan para nasabah), yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kegiatan takaful. Lembaga ini memperoleh dana bisa dari pungutan biaya administrasi dari para nasabah atau imbalan baik dari nasabah ataupun pengusaha. Dana tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional atau mengembangkan kegiatan takaful. Bukan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian lembaga itu didirikan memang untuk kegiatan nirlaba, yang berbeda sama sekali baik dari falsafah pendirian, tujuan, maupun tata kerjanya dengan perusahaan asuransi dalam sistem kapitalis.

Wallahu'alam bis-shawab


Disampaikan pada acara Gebyar Ramadhan, PT. Rekayasa Industri, Jakarta, Rabu, 5 Februari 1997.

Ismail Yusanto. Dosen Univ. Ibn Khaldun Bogor, Ketua Yayasan Kemudi, Pengamat masalah Ekonomi Islam.

Thursday, January 14, 2010

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 4

BMT Syariah - Tidak disangka ya, ternyata asuransi hukumnya begitu. Masyarakat kita memang masih awam akan hal ini. Kalau asuransi hukumnya haram, apakah ada yang lebih baik? Pasti ada dong.

Nah, pada artikel kali ini kita akan membahas tentang Takaful, yang bisa kita jadikan alternatif untuk asuransi. Silahkan dilanjut bacanya :-)

Takaful: Sebagai Alternatif

Sebagai kritik terhadap sistem asuransi konvensional yang dinilai mengandung riba, judi dan kedzaliman, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi Islam (Takaful). Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah dalam mua'amalah yang menyangkut prinsip jaminan, syirkah, bagi hasil dan ta'awun atau takaful (saling menanggung). Berasal dari bahasa Arab, takaful berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Menilik pengertiannya, asuransi takaful barangkali bisa digolongkan ke dalam bentuk Asuransi Saling Menanggung.

Menurut para penggagas Takaful, setidaknya terdapat tiga keberatan dalam praktek asuransi konvensional. Pertama, unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua, maysir atau untung-untungan, dan ketiga, riba. Ketidakpastian atau gharar tercermin dalam bentuk akad dan sumber dana klaim serta keabsahan syar'iy penerimaan uang klaim. Peserta asuransi tahu berapa yang akan diterima tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah saja yang mengetahui kapan ia meninggal (dalam hal asuransi jiwa). Aqad yang terjadi dalam asuransi konvensional adalah 'aqd tabadulli, yakni pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Padahal dalam Islam, harus jelas berapa yang akan kita bayar dan berapa yang akan kita terima. Dalam takaful unsur gharar dihilangkan. Akad yang dipakai bukan akad pertukaran tapi 'aqd takafuli, yakni akad tolong menolong dan saling menanggung. Artinya, semua peserta asuransi Islam menjadi penjamin satu sama lainnya. Kalau salah satu peserta meninggal yang lain menanggung, demikian sebaliknya.

Masih menyangkut gharar, dalam asuransi konvensional ada ketidakjelasan menyangkut sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui darimana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkannya terpenuhi. Luas diketahui dana itu diperoleh dari sebagian bunga yang didapatkan dari penyimpanan uang premi para nasabah oleh perusahaan asuransi di bank konvensional. Bahkan bisa dikatakan bahwa dari bunga uang premi para nasabah itulah perusahaan mendapat "keuntungan", setelah dipotong untuk biaya operasi dan kemungkinan pembayaran uang tanggungan.

Dalam takaful, sejak awal nasabah telah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal, bila ia meninggal atau mendapat musibah. Ini dimungkinkan sebab setiap pembayaran premi sejak awal telah dibagi menjadi dua. Pertama masuk ke dalam rekening pemegang polis, dan kedua dimasukkan ke rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru' (membantu) atau sadaqah untuk membantu saudaranya yang lain, misalnya dua persen (bisa berubah-ubah tergantung jumlah pemegang polis; semakin banyak semakin kecil) dari jumlah premi. Jika ada peserta yang meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan uang pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau tabarru' tadi.

Misalnya, seorang peserta mengambil waktu pertanggungan 10 tahun, dengan premi Rp 1 juta pertahun. Dari jumlah itu, dua persen (Rp 20 ribu) dimasukkan ke rekening khusus (tabarru') sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu setahun. Dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena ia menitipkan uangnya pada perusahaan, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30. Tujuh puluh persen untuk nasabah, sisanya untuk perusahaan takaful.

Bila peserta tesebut meninggal pada tahun kelima masa angsuran misalnya, ia akan mendapat dana pertanggunan. Dana itu terdiri dari: rekening peserta selama lima tahun (5 x Rp 980 ribu) ditambah dengan bagi hasil selama lima tahun dari uang tersebut, misalnya Rp 400 ribu, dan sisa premi yang belum dibayarkan 5 x Rp 1juta Rp 5 juta. Dari mana perusahaan takaful mendapat uang Rp 5 juta ini?. Bagian lima juta inilah yang diambil dari dana tabarru' tadi.

Jika peserta tersebut mengundurkan diri pada tahun kelima, ia mendapatkan kembali uang sebesar Rp 5,3 juta, yang terdiri dari Rp 4,9 juta dari rekening peserta selama lima tahun dan Rp 400 ribu dari bagi hasil selama lima tahun.

Dalam praktek asuransi konvensional, peserta yang mengudurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis biasanya tidak mendapat apa-apa. Karena uang premi yang sudah dibayarkannya dianggap hangus. Kalaupun bisa diambil itu hanya sebagian kecil saja. Inilah yang dimaksud unsur "maysir" (judi) dalam asuransi konvensional. Dalam praktek seperti ini, ada pihak yang (selalu) diuntungkan, yakni perusahaan asuransi, dan ada pihak yang dirugikan, yakni peserta. Memang kini ada asuransi yang memungkinkan peserta mengundurkan diri sebelum waktu pertanggungan habis. Tapi biasanya perusahaan asuransi menentukan sendiri batas waktu boleh tidaknya uang yang sudah dibayarkan peserta ditarik kembali. Misalnya tiga tahun. Ini berarti sebelum tiga tahun (sebelum reversing period) peserta tidak bisa mengambil uangnya jika karena sesuatu hal mengundurkan diri. Selepas tiga tahun, peserta memang boleh mengambil kembali uangnya, tapi biasanya dipotong biaya administrasi.

Dalam takaful, reversing period atau masa dibolehkannya peserta mengambil uang yang telah dibayarkan (mengundurkan diri atau membatalkan kontrak) adalah sepanjang waktu pertanggungan. Kendati peserta baru membayar satu kali angsuran misalnya, ia berhak mendapatkan kembali uangnya jika mengundurkan diri, kecuali sebagian kecil yang dipotong untuk dana tabarru'.

Asuransi konvensional biasanya menginvestasikan dananya atas dasar perhitungan bunga. Begitu juga jika mereka harus meminjam uang dari bank. Artinya, unsur riba di sini sangat dominan. Takaful menghilangkan praktek ini. Kalaupun perusahaan takaful memutarkan uang nasabah ke pihak lain, perhitungan keuntungannya atas dasar bagi hasil. Pendek kata mereka hanya mau menempatkan dananya dalam investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Selisih nisbah pembagian keuntungan antara perusahaan takaful dengan bank syariah penyalur dana (BMI) -- harus demikian karena menurut UU yang berlaku, perusahaan asuransi hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan dana -- dengan pembagian keuntungan antara perusahaan asuransi dengan nasabah itulah yang menjadi keuntungan perusahaan takaful.

Saturday, January 2, 2010

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 3

BMT Syariah - Setelah membahas pengertian asuransi lalu bentuk-bentuk asuransi, kini saatnya menginjak bagian hukum. Apa sih hukum asuransi, halal tidak di mata agama, dan beberapa pertanyaan lainnya akan dibahas di bagian ini.

Hukum Asuransi

Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab al-Nidzamu al-Iqtishady fi al-Islam, menyatakan bahwa asuransi adalah mu'amalah yang batil, oleh sebab dua perkara. Pertama, karena tidak terpenuhinya aqad dalam asuransi sebagai aqad yang sah menurut syara'. Kedua, karena aqad dalam asuransi tidak memenuhi syarat bagi sahnya aqad jaminan (dhaman).

Menurut Taqiyyudin, sebuah aqad dinilai sah oleh Islam bila aqadnya itu sendiri berlangsung secara sah, dan itu menyangkut barang atau jasa. Aqad terjadi menyangkut barang, baik dengan imbalan seperti dalam aqad jual beli, atau tanpa imbalan seperti dalam hibah atau hadiah. Aqad bisa pula terjadi pada jasa, baik dengan imbalan seperti dalam ijarah (perburuhan) atau tanpa imbalan seperti dalam aqad pinjaman ('ariyah). Dilihat dari kategori ini, aqad asuransi tidaklah termasuk aqad, baik menyangkut barang ataupun jasa. Karena faktanya, aqad asuransi itu berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan. Janji ini tidak dapat dianggap barang, karena dzatnya tidak bisa dinikmati serta dimanfaatkan. Tidak bisa juga dianggap jasa, karena tidak ada yang bisa memanfaatkan janji itu baik secara langsung maupun tidak. Adapun didapatnya sejumlah uang berdasarkan janji kesediaan menanggung itu, tetap tidak dapat merubah fakta bahwa janji itu bukanlah jasa, karena uang pertanggungan itu hanyalah merupakan akibat dari kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Dari itu jelaslah bahwa asuransi tidak memenuhi syarat agar bisa disebut aqad yang sah. Pendapat ini di dukung oleh Khalid Abd. Rahman Ahmad dalam bukunya "al-Tafkir al-Iqtishady fi al-Islam".

Masih menurut Syekh Taqiyyudin, jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu kewajiban. Dalam pemindahan harta seseorang kepada pihak lain itu disyaratkan harus ada penjamin (dhamin), yang dijamin (madhmun 'anhu) dan yang menerima jaminan (madhmun lahu). Lalu agar jaminan itu sah, disyaratkan terjadi dalam perkara penunaian hak harta yang benar-benar wajib dipenuhi oleh yang dijamin, seperti hutang, atau yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti mahar atau garansi terhadap barang dan sebagainya. Jika yang dijamin tidak mendapatkan apa-apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta. Yang tidak wajib ditunaikan oleh pihak yang dijamin tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin.

Dalilnya, Syekh Taqiyyudin menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda' dari Jawir. Dalam hadits ini diriwayatkan, Rasulullah pernah tidak bersedia menyalatkan (mayat) seorang laki-laki yang mempunyai hutang (semasa hidupnya). Rasulullah disodori jenasahnya (untuk dishalatkan), kemudian beliau bersabda: "Apakah ia mempunyai hutang?" Mereka menjawab: "Benar, yaitu dua dinar." Kemudian beliau bersabda: "Shalatkan sahabat kalian." Kemudian Abu Qathadah al-Anshari berkata: "Biarkan hutangnya menjadi tanggunganku, ya Rasulallah." Maka beliau lalu mau menyalatkannya. Ketika Allah telah menaklukkan berbagai negeri di bawah kekuasaan Rasulullah, beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa yang meninggalkan hutang, akulah yang akan melunasinya, dan barang siapa yang meninggalkan warisan maka harta warisan itu bagi pewarisnya"

Kisah dalam hadits di atas menunjukkan adanya aqad jaminan, yakni dalam apa yang telah dilakukan oleh Abu Qathadah dengan menjamin kewajiban pelunasan hutang-hutang si mayat. Di situ Abu Qathadah memindahkan kepemilikan sebagian hartanya kepada si mayat untuk menunaikan hak harta berupa hutang yang tentu saja tetap harus dibayar oleh si mayit. Kisah ini juga menunjukkan bahwa dalam masalah jaminan terdapat pihak penjamin, yakni Abu Qathadah; yang dijamin, yakni si mayit; dan pihak yang mendapatkan jaminan (majhul). Jelas pula bahwa jaminan adalah kewajiban penunaian hak harta tanpa suatu imbalan apapun, karena Abu Qathadah yang bersedia menjamin pembayaran hutang si mayit memang tidak memperoleh apa-apa. Sementara, dalam kisah di atas, pihak yang dijamin, yakni si mayat, dan pihak yang mendapatkan jaminan, yakni orang yang berpiutang adalah sama-sama majhul. Dengan demikian hadits ini telah sangat jelas memuat syarat sahnya aqad jaminan (dhaman).

Berdasarkan ketentuan ini, aqad jaminan pada asuransi konvensional tidaklah memenuhi keseluruhan syarat bagi sahnya sebuah aqad jaminan yang disahkan syariat. Dalam asuransi memang seolah-olah terdapat pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi; pihak yang dijamin, yakni nasabah; dan yang menerima jaminan yang tergantung pada jenis asuransi. Bila asuransi jiwa misalnya, berarti penerima jaminan adalah ahli waris. Bila asuransi kecelakaan, kebakaran dan angkutan, yang menerima jaminan adalah nasabah itu sendiri. Tapi, bila ditilik lebih jauh, dalam asuransi itu sesungguhnya tidak ada pemindahan hak seseorang kepada orang lain. Perusahaan asuransi sendiri kenyataannya tidaklah menjaminkan hartanya kepada seseorang dalam menunaikan kewajiban pihak tertanggung (nasabah). Karenanya perusahaan asuransi tidak bisa disebut pihak penjamin (dhamin).

Di sini juga tidak ada jaminan, karena tidak ada hak harta yang harus ditunaikan oleh seseorang yang dijamin. Tanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berupa uang seharga barang atau sejumlah uang yang diserahkan oleh perusahaaan asuransi tersebut ternyata tidak otomatis diterima oleh penerima tanggungan ketika polis asuransi tersebut ditandatangani, baik secara tunai maupun dibayarkan kemudian. Dengan demikian perusahaan asuransi menjamin sesuatu yang tidak wajib dilaksanakan.

Dalam sistem asuransi juga tidak ada pihak yang dijamin (madhmun 'anhu), karena perusahaan asuransi tersebut tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi suatu hak. Lagi pula ketika perusahaan asuransi berjanji menyerahkan pertanggungan atau menyerahkan uang ganti rugi pada saat terjadinya kerusakan, atau hilangnya barang atau terjadinya kecelakaan, hal itu sebenarnya merupakan imbalan dari sejumlah premi yang diserahkan oleh pemegang polis (pihak tertanggung). Dengan begitu jelaslah bahwa sistem asuransi adalah jaminan dengan imbalan. Ini tentu tidak sah, karena salah satu syarat sahnya jaminan adalah apabila pemberi jaminan tersebut berlangsung tanpa imbalan apapun. Karena itulah secara keseluruhan asuransi adalah batil. Bila aqad asuransi batil, maka harta yang diperoleh adalah haram karena diperoleh dengan jalan haram.

Tuesday, December 22, 2009

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 2

BMT Syariah - Setelah mengenal sedikit pengertian asuransi, kita akan membahas tentang bentuk-bentuk asuransi.

Bentuk Asuransi

Prof. KH. Alie Yafie dalam buku "Menggagas Fiqh Sosial" mengutip uraian Prof. Dr. Wirjono Projodikoro SH. dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia, dan Ny. Emmy Pangaribu Simanjutak SH. dalam Hukum Pertanggungan, menyebut ada beberapa bentuk asuransi.

Pertama, bila ditilik dari segi maksud dan tujuan yang hendak dicapai, asuransi dapat dibagi menjadi tiga, yakni Asuransi Ganti Kerugian, Asuransi Sejumlah Uang dan Asuransi Wajib. Asuransi Ganti Kerugian atau Asuransi Kerugian adalah suatu bentuk asuransi dimana terdapat suatu perjanjian berupa kesediaan pihak penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak tertanggung. Ada kalanya penggantian kerugian yang diberikan oleh penanggung sebenarnya tidak dapat disebut ganti rugi yang sesungguhnya. Yang diterimanya itu sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. Disebut kesepakatan, karena siapa yang mau nyawanya diganti dengan sejumlah uang? Asuransi yang demikian ini disebut Asuransi Sejumlah Uang atau Asuransi Orang, yang merupakan lawan (muqabil) dari asuransi ganti kerugian yang dianggap sebagai asuransi yang sesungguhnya. Yang termasuk golongan asuransi ganti kerugian ialah asuransi kebakaran, asuransi laut, asuransi pengangkutan di darat dan sebagainya. Dan yang termasuk golongan asuransi sejumlah uang ialah asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan. Di Barat istilah insurance digunakan untuk asuransi ganti kerugian sedang assurance untuk asuransi sejumlah uang.

Sedang dalam Asuransi Wajib, dikatakan wajib karena ada salah satu pihak yang mewajibkan kepada pihak lain dalam mengadakan perjanjian. Pihak yang mewajibkan ini biasanya adalah pihak pemerintah. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penanggung. Ia mewajibkan asuransi ini berdasarkan atas pertimbangan untuk melindungi golongan lemah dari bahaya yang mungkin akan menimpanya. Disamping itu juga ada tujuan lain, yakni mengumpulkan sejumlah uang premi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk keperluan lain yang dianggap lebih penting.

Kedua, apabila ditilik dari sudut badan usaha yang menyelenggarakan asuransi, maka dapat dibagi menjadi dua, yakni Asuransi Premi dan Asuransi Saling Menanggung. Asuransi premi adalah bentuk asuransi biasa. Dalam asuransi ini terdapat suatu perusahaan asuransi di satu pihak yang mengadakan persetujuan asuransi dengan masing-masing pihak tertanggung secara sendiri-sendiri, dimana diantara tertanggung tidak ada hubungan hukum satu sama lain. Kebalikannya, di dalam asuransi saling menanggung ada suatu persetujuan dari semua para pihak tertanggung selaku anggota. Mereka tidak membayar premi, melainkan membayar semacam iuran kepada pengurus dari perkumpulan. Dan juga selaku anggota perkumpulan, mereka akan menerima pembayaran apabila memenuhi syarat, yang tergantung pada peristiwa yang semula belum dapat ditentukan akan terjadi.

SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH

BMT Syariah - Pembaca mungkin sudah mengetahui bahwa selain sektor riil (perdagangan dan jasa), dalam sistem ekonomi kapitalistik berkembang pula sektor non-riil atau sektor keuangan. Dalam sektor ini, uang tidak lagi dianggap sebagai alat tukar semata tapi juga sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan atau diambil "manfaatnya". Salah satu bentuknya adalah "jasa" asuransi. Mereka memang menganggap usaha ini, sebagaimana perbankan, sebagai jasa. Padahal bila ditilik lebih jauh usaha tersebut adalah memperlakukan uang sebagai komoditi seperti disebut diatas. Maka asuransi adalah sebuah usaha yang mengambil keuntungan dari komoditas uang yang berputar dalam jasa jaminan.

Pengertian Asuransi

Dr. H. Hamzah Ya'cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut bahwa asuransi berasal dari kata dalam bahasa Inggris "insurance" atau assurance" yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah: suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Pada awalnya asuransi dikenal di Eropa Barat pada Abad Pertengahan berupa asuransi kebakaran. Lalu pada abad 13 - 14, seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau, berkembanglah asuransi pengangkutan laut. Asuransi jiwa sendiri baru dikenal pada awal abad 19. Kodifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte memuat pasal-pasal tentang asuransi dalam KUHD. Kodifikasi ini kemudian mempengaruhi KUHD Belanda, yang sebagiannya hingga sekarang masih dipakai di Indonesia.

Bentuk asuransi sekarang sudah sangat beragam. Disamping yang telah disebut, juga ada asuransi kecelakaan, asuransi kerusakan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, asuransi kredit, bahkan juga asuransi organ tubuh (kaki pada pemain bola, suara pada penyanyi dan sebagainya).

Tujuan asuransi pada pokoknya adalah "mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia menerima risiko itu disebut penanggung(insurer)". Ia mau melakukan hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan saja (bahkan mungkin alasan sosial ini memang tidak pernah ada), tapi karena ia melihat dalam usaha ini terdapat celah untuk mengambil keuntungan. Sebagai perusahaan, pihak penanggung bagaimanapun lebih dapat menilai besarnya risiko itu dari pada pihak tertanggung (insured) seorang. Berdasarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang akan diterimanya, didukung analisa statistik, perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya penggantian kerugian. Dan dari jumlah inilah perusahaan memintakan premi kepada pihak tertanggung. Di luar itu, perusahaan asuransi masih memasukkan biaya operasional dan margin keuntungan untuk perusahaan. Ini merupakan teknik perusahaan asuransi untuk meraup untung. Bila biaya operasional dan margin keuntungan dari satu nasabah tertanggung sudah diperoleh, ditambah dengan perolehan bunga dari uang premi nasabah tiap bulan yang disimpan di bank, maka perusahaan asuransi tentu saja akan meraup untung berlipat-lipat dari semakin banyak nasabah yang berhasil digaet.

Memang diakui masih ada kemungkinan dalam prakteknya perhitungan teliti itu meleset. Dalam arti, masih ada bahaya besar bagi perusahaan bila menanggung sendiri. Tapi kemungkinan itu sangat kecil, kalau tidak bisa disebut tidak ada sama sekali. Disampingi itu, perusahaan bisa berupaya agar risiko itu ditanggung pula oleh pihak lain. Inilah yang dinamakan re-asuransi.

Bersambung ke SEKILAS TENTANG ASURANSI DALAM BMT SYARIAH 2

Tuesday, October 27, 2009

Takaful: Beberapa Pertanyaan

Beberapa Pertanyaan

Kendati sekilas tampaknya semua mekanisme takaful Islam telah berjalan sesuai syari'ah, tapi tak urung mengundang sejumlah pertanyaan. Pada pokoknya pertanyaan tersebut berpangkal pada dua perkara yakni: Pertama, tentang terpenuhi tidaknya syarat bagi sahnya aqad jaminan serta terpenuhi tidaknya syarat dalam aqad jaminan yang disahkan syara'; dan Kedua, seputar kedudukan perusahaan takaful itu sendiri: apakah ia berperan sebagai perusahaan penjamin, ataukah sebagai perusahaan pengelola dana nasabah (mudharib), atau hanya sekedar sebagai pialang (broker) yang mempertemukan nasabah sebagai pemilik dana dengan pengusaha.

Menurut fiqh Islam, sebagaimana disebut oleh Syekh Taqiyyudin al-Nabhani di atas, terdapat lima rukun dhaman, yakni adanya pihak yang menjamin
(dhamin), yang dijamin (madhmun 'anhu) dan yang meneriman jaminan (madhmun lahu), dan adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, yakni sebagaimana disebut oleh hadits di atas, berupa hak harta yang wajib dibayar atau akan jatuh tempo pemenuhannya, serta adanya ikrar atau ijab qabul. Nah, sudahkan kelima rukun ini lengkap ada dalam asuransi takaful?

Pada sisi lain ada kesamaran dalam mekanisme asuransi takaful. Bila dikaji lebih jauh, di dalam mekanisme kerja asuransi takaful agaknya berlangsung dua aqad sekaligus, yakni aqad saling menanggung diantara para nasabah (aqad takafuli) dan aqad syarikat antara nasabah dan perusahaan takaful yang dibuktikan dengan adanya bagi hasil uang nasabah yang disimpan perusahaan asuransi takaful. Dalam hal aqad saling menanggung, siapakah yang menjadi penanggung dan yang ditanggung? Bila aqad dalam Takaful adalah aqad takafuli antar peserta, pernahkan aqad itu berlangsung sebagaimana mestinya diantara mereka sendiri? Bila diantara nasabah sudah bisa saling menanggung, lalu apa fungsi perusahaan asuransi Takaful? Maksudnya, dalam hal ini kedudukan perusahaan Takaful sebagai apa? Apakah sebagai pihak pengelola dana nasabah? Bila sebagai pengelola dana nasabah, mengapa disebut perusahaan Takaful, mengapa bukan perusahaan biasa sebagaimana yang lain?

Tapi, benarkah perusahaan asuransi Takaful bertindak sebagai pengelola dana nasabah? Ternyata tidak, karena dana yang dikumpulkan tidak dikelola sendiri (menurut UU yang berlaku Takaful termasuk lembaga keuangan non bank yang hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan apalagi memutarnya sendiri) melainkan disalurkan ke BMI. Itupun oleh BMI, karena juga tidak boleh berusaha (lembaga keuangan bank menurut UU hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana, tapi tidak boleh berusaha), disalurkan lagi kepada pengusaha. Karena bukan sebagai lembaga pengelola, maka semestinya perusahaan Takaful hanya berfungsi sebagai pialang (perantara) antara nasabah dan pengusaha (yang dalam faktanya itupun tidak pernah ada), ataupun wakil nasabah dalam berhadapan dengan pengusaha. Sebagai perantara, Takaful berhak mendapat komisi. Sedang sebagai wakil, Takaful bisa mendapat imbalan (ujrah atau 'iwad). Tapi dalam kenyataannya, mengapa perusahaan memungut bagi hasil, dan karenanya juga menanggung kerugian?

Khatimah

Beberapa pertanyaan di atas tidak lain demi kesempurnaan mu'amalah secara Islamy. Sebab, penyimpangan atau ketidaksesuaian setiap bentuk mu'amalah dari ajaran Islam hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kehalalan harta yang diperoleh.

Alternatif penyelesaiannya adalah sebagai berikut: Akad saling menanggung bisa dilakukan diantara para peserta. Jadi sejumlah para nasabah membentuk kesepakatan bersama untuk saling menanggung dengan cara mengumpulkan sejumlah uang. Bisa pula disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai modal usaha yang diputar oleh sebuah perusahaan, dimana sebagian atau seluruh keuntungan itulah yang digunakan sebagai dana tanggungan. Bila berlebih, bisa disepakati lebih jauh untuk menanggung orang lain yang bukan anggota takaful. "Perusahaan Takaful" (bisa dicari nama lain yang lebih netral) dalam hal ini bisa berperan sebagai wakil kedua belah pihak (pengusaha dan para nasabah), yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kegiatan takaful. Lembaga ini memperoleh dana bisa dari pungutan biaya administrasi dari para nasabah atau imbalan baik dari nasabah ataupun pengusaha. Dana tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional atau mengembangkan kegiatan takaful. Bukan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian lembaga itu didirikan memang untuk kegiatan nirlaba, yang berbeda sama sekali baik dari falsafah pendirian, tujuan, maupun tata kerjanya dengan perusahaan asuransi dalam sistem kapitalis.

Takaful: Sebagai Alternatif

Sebagai kritik terhadap sistem asuransi konvensional yang dinilai mengandung riba, judi dan kedzaliman, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi Islam (Takaful). Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah dalam mua'amalah yang menyangkut prinsip jaminan, syirkah, bagi hasil dan ta'awun atau takaful (saling menanggung). Berasal dari bahasa Arab, takaful berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Menilik pengertiannya, asuransi takaful barangkali bisa digolongkan ke dalam bentuk Asuransi Saling Menanggung.

Menurut para penggagas Takaful, setidaknya terdapat tiga keberatan dalam praktek asuransi konvensional. Pertama, unsur gharar atau ketidakpastian. Kedua, maysir atau untung-untungan, dan ketiga, riba. Ketidakpastian atau gharar tercermin dalam bentuk akad dan sumber dana klaim serta keabsahan syar'iy penerimaan uang klaim. Peserta asuransi tahu berapa yang akan diterima tapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah saja yang mengetahui kapan ia meninggal (dalam hal asuransi jiwa). Aqad yang terjadi dalam asuransi konvensional adalah 'aqd tabadulli, yakni pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Padahal dalam Islam, harus jelas berapa yang akan kita bayar dan berapa yang akan kita terima. Dalam takaful unsur gharar dihilangkan. Akad yang dipakai bukan akad pertukaran tapi 'aqd takafuli, yakni akad tolong menolong dan saling menanggung. Artinya, semua peserta asuransi Islam menjadi penjamin satu sama lainnya. Kalau salah satu peserta meninggal yang lain menanggung, demikian sebaliknya.

Masih menyangkut gharar, dalam asuransi konvensional ada ketidakjelasan menyangkut sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui darimana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkannya terpenuhi. Luas diketahui dana itu diperoleh dari sebagian bunga yang didapatkan dari penyimpanan uang premi para nasabah oleh perusahaan asuransi di bank konvensional. Bahkan bisa dikatakan bahwa dari bunga uang premi para nasabah itulah perusahaan mendapat "keuntungan", setelah dipotong untuk biaya operasi dan kemungkinan pembayaran uang tanggungan.

Dalam takaful, sejak awal nasabah telah diberi tahu dari mana dana yang diterimanya berasal, bila ia meninggal atau mendapat musibah. Ini dimungkinkan sebab setiap pembayaran premi sejak awal telah dibagi menjadi dua. Pertama masuk ke dalam rekening pemegang polis, dan kedua dimasukkan ke rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru' (membantu) atau sadaqah untuk membantu saudaranya yang lain, misalnya dua persen (bisa berubah-ubah tergantung jumlah pemegang polis; semakin banyak semakin kecil) dari jumlah premi. Jika ada peserta yang meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan uang pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau tabarru' tadi.

Misalnya, seorang peserta mengambil waktu pertanggungan 10 tahun, dengan premi Rp 1 juta pertahun. Dari jumlah itu, dua persen (Rp 20 ribu) dimasukkan ke rekening khusus (tabarru') sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu setahun. Dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena ia menitipkan uangnya pada perusahaan, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30. Tujuh puluh persen untuk nasabah, sisanya untuk perusahaan takaful.

Bila peserta tesebut meninggal pada tahun kelima masa angsuran misalnya, ia akan mendapat dana pertanggunan. Dana itu terdiri dari: rekening peserta selama lima tahun (5 x Rp 980 ribu) ditambah dengan bagi hasil selama lima tahun dari uang tersebut, misalnya Rp 400 ribu, dan sisa premi yang belum dibayarkan 5 x Rp 1juta Rp 5 juta. Dari mana perusahaan takaful mendapat uang Rp 5 juta ini?. Bagian lima juta inilah yang diambil dari dana tabarru' tadi.

Jika peserta tersebut mengundurkan diri pada tahun kelima, ia mendapatkan kembali uang sebesar Rp 5,3 juta, yang terdiri dari Rp 4,9 juta dari rekening peserta selama lima tahun dan Rp 400 ribu dari bagi hasil selama lima tahun.

Dalam praktek asuransi konvensional, peserta yang mengudurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis biasanya tidak mendapat apa-apa. Karena uang premi yang sudah dibayarkannya dianggap hangus. Kalaupun bisa diambil itu hanya sebagian kecil saja. Inilah yang dimaksud unsur maysir (judi) dalam asuransi konvensional. Dalam praktek seperti ini, ada pihak yang (selalu) diuntungkan, yakni perusahaan asuransi, dan ada pihak yang dirugikan, yakni peserta. Memang kini ada asuransi yang memungkinkan peserta mengundurkan diri sebelum waktu pertanggungan habis. Tapi biasanya perusahaan asuransi menentukan sendiri batas waktu boleh tidaknya uang yang sudah dibayarkan peserta ditarik kembali. Misalnya tiga tahun. Ini berarti sebelum tiga tahun (sebelum reversing period) peserta tidak bisa mengambil uangnya jika karena sesuatu hal mengundurkan diri. Selepas tiga tahun, peserta memang boleh mengambil kembali uangnya, tapi biasanya dipotong biaya administrasi.

Dalam takaful, reversing period atau masa dibolehkannya peserta mengambil uang yang telah dibayarkan (mengundurkan diri atau membatalkan kontrak) adalah sepanjang waktu pertanggungan. Kendati peserta baru membayar satu kali angsuran misalnya, ia berhak mendapatkan kembali uangnya jika mengundurkan diri, kecuali sebagian kecil yang dipotong untuk dana tabarru'.

Asuransi konvensional biasanya menginvestasikan dananya atas dasar perhitungan bunga. Begitu juga jika mereka harus meminjam uang dari bank. Artinya, unsur riba di sini sangat dominan. Takaful menghilangkan praktek ini. Kalaupun perusahaan takaful memutarkan uang nasabah ke pihak lain, perhitungan keuntungannya atas dasar bagi hasil. Pendek kata mereka hanya mau menempatkan dananya dalam investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Selisih nisbah pembagian keuntungan antara perusahaan takaful dengan bank syariah penyalur dana (BMI) -- harus demikian karena menurut UU yang berlaku, perusahaan asuransi hanya boleh menghimpun dana tapi tidak boleh menyalurkan dana -- dengan pembagian keuntungan antara perusahaan asuransi dengan nasabah itulah yang menjadi keuntungan perusahaan takaful.

Bentuk Asuransi

Prof. KH. Alie Yafie dalam buku Menggagas Fiqh Sosial, mengutip uraian Prof. Dr. Wirjono Projodikoro SH. dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia, dan Ny. Emmy Pangaribu Simanjutak SH. dalam Hukum Pertanggungan, menyebut ada beberapa bentuk asuransi.

Pertama, bila ditilik dari segi maksud dan tujuan yang hendak dicapai, asuransi dapat dibagi menjadi tiga, yakni Asuransi Ganti Kerugian, Asuransi Sejumlah Uang dan Asuransi Wajib. Asuransi Ganti Kerugian atau Asuransi Kerugian adalah suatu bentuk asuransi dimana terdapat suatu perjanjian berupa kesediaan pihak penanggung untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak tertanggung. Ada kalanya penggantian kerugian yang diberikan oleh penanggung sebenarnya tidak dapat disebut ganti rugi yang sesungguhnya. Yang diterimanya itu sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. Disebut kesepakatan, karena siapa yang mau nyawanya diganti dengan sejumlah uang? Asuransi yang demikian ini disebut Asuransi Sejumlah Uang atau Asuransi Orang, yang merupakan lawan (muqabil) dari asuransi ganti kerugian yang dianggap sebagai asuransi yang sesungguhnya. Yang termasuk golongan asuransi ganti kerugian ialah asuransi kebakaran, asuransi laut, asuransi pengangkutan di darat dan sebagainya. Dan yang termasuk golongan asuransi sejumlah uang ialah asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan. Di Barat istilah insurance digunakan untuk asuransi ganti kerugian sedang assurance untuk asuransi sejumlah uang.

Sedang dalam Asuransi Wajib, dikatakan wajib karena ada salah satu pihak yang mewajibkan kepada pihak lain dalam mengadakan perjanjian. Pihak yang mewajibkan ini biasanya adalah pihak pemerintah. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penanggung. Ia mewajibkan asuransi ini berdasarkan atas pertimbangan untuk melindungi golongan lemah dari bahaya yang mungkin akan menimpanya. Disamping itu juga ada tujuan lain, yakni mengumpulkan sejumlah uang premi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk keperluan lain yang dianggap lebih penting.

Kedua, apabila ditilik dari sudut badan usaha yang menyelenggarakan asuransi, maka dapat dibagi menjadi dua, yakni Asuransi Premi dan Asuransi Saling Menanggung. Asuransi premi adalah bentuk asuransi biasa. Dalam asuransi ini terdapat suatu perusahaan asuransi di satu pihak yang mengadakan persetujuan asuransi dengan masing-masing pihak tertanggung secara sendiri-sendiri, dimana diantara tertanggung tidak ada hubungan hukum satu sama lain. Kebalikannya, di dalam asuransi saling menanggung ada suatu persetujuan dari semua para pihak tertanggung selaku anggota. Mereka tidak membayar premi, melainkan membayar semacam iuran kepada pengurus dari perkumpulan. Dan juga selaku anggota perkumpulan, mereka akan menerima pembayaran apabila memenuhi syarat, yang tergantung pada peristiwa yang semula belum dapat ditentukan akan terjadi.

Hukum Asuransi

Taqiyyudin al-Nabhani dalam kitab al-Nidzamu al-Iqtishady fi al-Islam, menyatakan bahwa asuransi adalah mu'amalah yang batil, oleh sebab dua perkara. Pertama, karena tidak terpenuhinya aqad dalam asuransi sebagai aqad yang sah menurut syara'. Kedua, karena aqad dalam asuransi tidak memenuhi syarat bagi sahnya aqad jaminan (dhaman).

Menurut Taqiyyudin, sebuah aqad dinilai sah oleh Islam bila aqadnya itu sendiri berlangsung secara sah, dan itu menyangkut barang atau jasa. Aqad terjadi menyangkut barang, baik dengan imbalan seperti dalam aqad jual beli, atau tanpa imbalan seperti dalam hibah atau hadiah. Aqad bisa pula terjadi pada jasa, baik dengan imbalan seperti dalam ijarah (perburuhan) atau tanpa imbalan seperti dalam aqad pinjaman ('ariyah). Dilihat dari kategori ini, aqad asuransi tidaklah termasuk aqad, baik menyangkut barang ataupun jasa. Karena faktanya, aqad asuransi itu berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan. Janji ini tidak dapat dianggap barang, karena dzatnya tidak bisa dinikmati serta dimanfaatkan. Tidak bisa juga dianggap jasa, karena tidak ada yang bisa memanfaatkan janji itu baik secara langsung maupun tidak. Adapun didapatnya sejumlah uang berdasarkan janji kesediaan menanggung itu, tetap tidak dapat merubah fakta bahwa janji itu bukanlah jasa, karena uang pertanggungan itu hanyalah merupakan akibat dari kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Dari itu jelaslah bahwa asuransi tidak memenuhi syarat agar bisa disebut aqad yang sah. Pendapat ini di
dukung oleh Khalid Abd. Rahman Ahmad dalam bukunya al-Tafkir al-Iqtishady fi al-Islam.

Masih menurut Syekh Taqiyyudin, jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu kewajiban. Dalam pemindahan harta seseorang kepada pihak lain itu disyaratkan harus ada penjamin (dhamin), yang dijamin (madhmun 'anhu) dan yang menerima jaminan (madhmun lahu). Lalu agar jaminan itu sah, disyaratkan terjadi dalam perkara penunaian hak harta yang benar-benar wajib dipenuhi oleh yang dijamin, seperti hutang, atau yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti mahar atau garansi terhadap barang dan sebagainya. Jika yang dijamin tidak mendapatkan apa-apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta. Yang tidak wajib ditunaikan oleh pihak yang dijamin tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin.

Dalilnya, Syekh Taqiyyudin menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda' dari Jawir. Dalam hadits ini diriwayatkan, Rasulullah pernah tidak bersedia menyalatkan (mayat) seorang laki-laki yang mempunyai hutang (semasa hidupnya). Rasulullah disodori jenasahnya (untuk dishalatkan), kemudian beliau bersabda: "Apakah ia mempunyai hutang?" Mereka menjawab: "Benar, yaitu dua dinar." Kemudian beliau bersabda: "Shalatkan sahabat kalian." Kemudian Abu Qathadah al-Anshari berkata: "Biarkan hutangnya menjadi tanggunganku, ya Rasulallah." Maka beliau lalu mau menyalatkannya. Ketika Allah telah menaklukkan berbagai negeri di bawah kekuasaan Rasulullah, beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa yang meninggalkan hutang, akulah yang akan melunasinya, dan barang siapa yang meninggalkan warisan maka harta warisan itu bagi pewarisnya"

Kisah dalam hadits di atas menunjukkan adanya aqad jaminan, yakni dalam apa yang telah dilakukan oleh Abu Qathadah dengan menjamin kewajiban pelunasan hutang-hutang si mayat. Di situ Abu Qathadah memindahkan kepemilikan sebagian hartanya kepada si mayat untuk menunaikan hak harta berupa hutang yang tentu saja tetap harus dibayar oleh si mayit. Kisah ini juga menunjukkan bahwa dalam masalah jaminan terdapat pihak penjamin, yakni Abu Qathadah; yang dijamin, yakni si mayit; dan pihak yang mendapatkan jaminan (majhul). Jelas pula bahwa jaminan adalah kewajiban penunaian hak harta tanpa suatu imbalan apapun, karena Abu Qathadah yang bersedia menjamin pembayaran hutang si mayit memang tidak memperoleh apa-apa. Sementara, dalam kisah di atas, pihak yang dijamin, yakni si mayat, dan pihak yang mendapatkan jaminan, yakni orang yang berpiutang adalah sama-sama majhul. Dengan demikian hadits ini telah sangat jelas memuat syarat sahnya aqad jaminan (dhaman).

Berdasarkan ketentuan ini, aqad jaminan pada asuransi konvensional tidaklah memenuhi keseluruhan syarat bagi sahnya sebuah aqad jaminan yang disahkan syariat. Dalam asuransi memang seolah-olah terdapat pihak penjamin, yakni perusahaan asuransi; pihak yang dijamin, yakni nasabah; dan yang menerima jaminan yang tergantung pada jenis asuransi. Bila asuransi jiwa misalnya, berarti penerima jaminan adalah ahli waris. Bila asuransi kecelakaan, kebakaran dan angkutan, yang menerima jaminan adalah nasabah itu sendiri. Tapi, bila ditilik lebih jauh, dalam asuransi itu sesungguhnya tidak ada pemindahan hak seseorang kepada orang lain. Perusahaan asuransi sendiri kenyataannya tidaklah menjaminkan hartanya kepada seseorang dalam menunaikan kewajiban pihak tertanggung (nasabah). Karenanya perusahaan asuransi tidak bisa disebut pihak penjamin (dhamin).

Di sini juga tidak ada jaminan, karena tidak ada hak harta yang harus ditunaikan oleh seseorang yang dijamin. Tanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berupa uang seharga barang atau sejumlah uang yang diserahkan oleh perusahaaan asuransi tersebut ternyata tidak otomatis diterima oleh penerima tanggungan ketika polis asuransi tersebut ditandatangani, baik secara tunai maupun dibayarkan kemudian. Dengan demikian perusahaan asuransi menjamin sesuatu yang tidak wajib dilaksanakan.

Dalam sistem asuransi juga tidak ada pihak yang dijamin (madhmun 'anhu), karena perusahaan asuransi tersebut tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi suatu hak. Lagi pula ketika perusahaan asuransi berjanji menyerahkan pertanggungan atau menyerahkan uang ganti rugi pada saat terjadinya kerusakan, atau hilangnya barang atau terjadinya kecelakaan, hal itu sebenarnya merupakan imbalan dari sejumlah premi yang diserahkan oleh pemegang polis (pihak tertanggung). Dengan begitu jelaslah bahwa sistem asuransi adalah jaminan dengan imbalan. Ini tentu tidak sah, karena salah satu syarat sahnya jaminan adalah apabila pemberi jaminan tersebut berlangsung tanpa imbalan apapun. Karena itulah secara keseluruhan asuransi adalah batil. Bila aqad asuransi batil, maka harta yang diperoleh adalah haram karena diperoleh dengan jalan haram

Pengertian Asuransi

Dr. H. Hamzah Ya'cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut bahwa asuransi berasal dari kata dalam bahasa Inggris insurance atau assurance yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah: suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu."

Pada awalnya asuransi dikenal di Eropa Barat pada Abad Pertengahan berupa asuransi kebakaran. Lalu pada abad 13 - 14, seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau, berkembanglah asuransi pengangkutan laut. Asuransi jiwa sendiri baru dikenal pada awal abad 19. Kodifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte memuat pasal-pasal tentang asuransi dalam KUHD. Kodifikasi ini kemudian mempengaruhi KUHD Belanda, yang sebagiannya hingga sekarang masih dipakai di Indonesia.

Bentuk asuransi sekarang sudah sangat beragam. Disamping yang telah disebut, juga ada asuransi kecelakaan, asuransi kerusakan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, asuransi kredit, bahkan juga asuransi organ tubuh (kaki pada pemain bola, suara pada penyanyi dan sebagainya).

Tujuan asuransi pada pokoknya adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia menerima risiko itu disebut penanggung (insurer). Ia mau melakukan hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan saja (bahkan mungkin alasan sosial ini memang tidak pernah ada), tapi karena ia melihat dalam usaha ini terdapat celah untuk mengambil keuntungan. Sebagai perusahaan, pihak penanggung bagaimanapun lebih dapat menilai besarnya risiko itu dari pada pihak tertanggung (insured) seorang. Berdasarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang akan diterimanya, didukung analisa statistik, perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya penggantian kerugian. Dan dari jumlah inilah perusahaan memintakan premi kepada pihak tertanggung. Di luar itu, perusahaan asuransi masih memasukkan biaya operasional dan margin keuntungan untuk perusahaan. Ini merupakan teknik perusahaan asuransi untuk meraup untung. Bila biaya operasional dan margin keuntungan dari satu nasabah tertanggung sudah diperoleh, ditambah dengan perolehan bunga dari uang premi nasabah tiap bulan yang disimpan di bank, maka perusahaan asuransi tentu saja akan meraup untung berlipat-lipat dari semakin banyak nasabah yang berhasil digaet.

Memang diakui masih ada kemungkinan dalam prakteknya perhitungan teliti itu meleset. Dalam arti, masih ada bahaya besar bagi perusahaan bila menanggung sendiri. Tapi kemungkinan itu sangat kecil, kalau tidak bisa disebut tidak ada sama sekali. Disampingi itu, perusahaan bisa berupaya agar risiko itu ditanggung pula oleh pihak lain. Inilah yang dinamakan re-asuransi.

Simpanan Haji Shofa Marwa

Simpanan Haji Shofa Marwa

Pamflet Simpanan Qurban

Pamflet Simpanan Qurban