Senin, 28 Desember 2009

Catatan Akhir Tahun 2009

Sumber: Pengusaha Rindu Syariah

ISU STRATEGIS DALAM SETAHUN:
Praktik kebijakan ekonomi bisnis nasional masih praktik tatanan ekonomi kapitalistik, ditandai dengan kebijakan ekonomi kapitalistik, pembangunan berbasis riba, iklim usaha yang machiavelistik, asimetri pendapatan, ketimpangan distribusi dan kemiskinan struktural …

Kebijakan Ekonomi Kapitalistik


Banyak produk UU penyelenggaraan kehidupan ekonomi yang dihasilkan DPR terbukti kapitalistik dan karenanya tidak memihak rakyat yang berada di tengah himpitan dan beban hidup yang semakin sulit dan berkepanjangan, bahkan akan menimbulkan kehancuran perekonomian nasional dan lingkungan serta meningkatkan kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kelaparan rakyat di negeri yang kaya ini.

• Peneliti dari Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM Yogyakarta, Hifdzil Alim, menilai beberapa UU yang dihasilkan memiliki substansi buruk, misalnya UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 Tahun 2009), karena memberlakukan kontrak karya hingga berakhir; UU Badan Hukum Pendidikan (UU No.9 Tahun 2009), karena memasukkan konsep perusahaan ke dalam konsep penyelenggaraan pendidikan.

• Pihak asing juga dibiarkan mengambil-alih perusahaan-perusahaan negara (BUMN) yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemain asing dan pemain lokal dibiarkan bebas berkompetisi di Indonesia. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi “nasionalisasi” dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri. Yang terjadi justru internasionalisasi BUMN. Tahun 2008, Komite Privatisasi memutuskan untuk melego 34 BUMN, melalui proyek privatisasi, dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda tahun sebelumnya (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).

• Di sektor perbankan, ada UU Perbankan dimana melalui pasal 22 ayat 1b UU Perbankan ini, warga negara dan badan hukum asing bebas untuk bermitra dengan WNI atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Pihak asing pun bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing.

Dengan semua kenyataan di atas, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengungkapkan, tidak ada produk hukum yang lahir dari (baca: demi) kepentingan masyarakat murni (Jabarnews.com, 11/6/2009).

Pembangunan Masih Berbasis Riba

Utang masih menjadi salah satu basis modal pembangunan.
Negeri kita masih terperangkap jeratan hutang. Pada Desember 2003 posisi hutang Indonesia adalah Rp 1.275 triliun. Pada Januari 2009, membengkak menjadi Rp 1.667 triliun. Jumlah tersebut, jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, maka tiap kepala harus menanggung Rp 7,7 juta. Selama periode kepemimpinan SBY-JK, hutang Indonesia meningkat hampir 13% (Rp 400 triliun) hanya dalam kurun waktu empat tahun, yakni naik sekitar Rp 80 triliun pertahun. Inilah “prestasi hutang” terbesar dari pemerintahan periode ini dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Angka ini tidak sebanding dengan anggaran untuk sektor yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, seperti pertanian (Rp 8 triliun), pendidikan (Rp 62 triliun), kesehatan (Rp 20 triliun), kementerian lingkungan hidup (Rp 376 miliar). Sementara itu, dalam APBN 2009, untuk membayar hutang tersebut telah dianggarkan dana sebesar Rp 162 triliun.
Di sisi lain, dalam dokumen yang ditemukan INFID, program BLT yang diklaim sebagai program hasil rancangan Pemerintah ternyata ada dalam “Document Policy Loan (DPL)” Bank Dunia. Dalam dokumen tersebut, dinyatakan bahwa program BLT didukung oleh ADB (Asian Development Bank) dan Jepang, dan ini adalah program Bank Dunia (Media Indonesia, 15/6).
“Uang cuma-cuma” untuk sebagian rakyat juga berasal hasil hutang luar negeri yang juga harus ditanggung rakyat. Dengan kata lain, sebagian rakyat yang mendapatkan BLT sebesar Rp 300 ribu setiap tiga bulan, ternyata sekaligus diberi beban hutang oleh Pemerintah sebesar Rp 7,7 juta per kepala. Masya Allah.

Bank ribawi masih menjadi pilar ekonomi bangsa.
Mega skandal Bank Century. Dana talangan (bail-out) yang dikucurkan untuk ‘penyelamatan’ bank sekecil ini adalah Rp 6,7 Triliun. Uang sebanyak ini, bila terdiri dari pecahan Rp 1.000,- lalu dirangkai, panjangnya akan mencapai 1.018.400 Kilometer, atau lebih dari 25 kali keliling bumi. Untuk mengangkutnya diperlukan sekitar 213 mobil kontainer yang kapasitasnya 30 ton. Uang ini dapat dibelanjakan untuk mendirikan 6.700 sekolah yang cukup bagus atau menggaji 200.000 guru selama setahun dengan gaji Rp 2,8 juta setiap bulan. Skandal Bank Century adalah bukti ke sekian kali dari rapuhnya sistem perbankan nasional yang berbasis ribawi (dan birokrat yang berjiwa korup).

Hanya saja, meski rapuh, keberadaan bank ribawi akan tetap dipertahankan. Sistem ekonomi kapitalisme memiliki resep untuk mengatasinya, yakni dengan cara pemberian bail-out kepada sektor ini. Resep itu tidak lain yaitu negara yang harus menanggung beban pembiayaan dan permodalan bagi sektor swasta (perbankan) yang bangkrut. Pembiayaan ini kemudian pada akhirnya dibebankan kepada rakyat melalui pembayaran pajak. Inilah rumus standar IMF, sang penjaga gawang sistem ekonomi kapitalisme.

Tidak ada komentar:

Simpanan Haji Shofa Marwa

Simpanan Haji Shofa Marwa

Pamflet Simpanan Qurban

Pamflet Simpanan Qurban